Indonesia dan VOC (Verenigde
Oostindische Compagnie) oleh :dew_dew
Pada abad ke-16 Portugis dan Spanyol
menguasai pelayaran ke Asia serta menguasai perdagangan rempah-rempah antara
Asia dengan Eropa, khususnya perdagangan lada. Dalam perkembangan selanjutnya di
Eropa, Raja Portugal memiliki kekuasaan tunggal atas pengangkutan dan pembelian
hasil bumi dari Asia. Semua kontrak jual beli hasil bumi ditentukan harganya
oleh Raja Portugal. Orang-orang Belanda yang dikenal sebagai pedagang merasa
dirugikan oleh tindakan Portugal tersebut, dan akhirnya berusaha mencari jalan
sendiri untuk menghindari monopoli perdagangan Portugal.
Atas inisiatif Staten-Generaal (semacam Dewan
Rakyat) pada tanggal 20 Maret 1602 didirikan perusahaan dagang VOC (Vereenigde
Oost Indische Compagnie) di Amsterdam, yang kemudian berkembang di berbagai kota
lainnya. Para pedagang besar Belanda sebagai pemegang sahamnya. Dalam waktu
hanya lima tahun VOC memiliki 15 armada yang terdiri dari 65 kapal yang memulai
pelayarannya dari pelabuhan-pelabuhan Rotterdam, Amsterdam, Middelburg,
Vlissingen, Veere, Delft, Hoorn dan Enkhuizen.
Sebelum terbentuknya VOC, ekspedisi Belanda
pertama ke Asia telah melakukan tiga kali pelayaran antara tahun 1594 – 1596
namun mengalami kegagalan. Para pelaut banyak yang jatuh sakit karena
keracunan makanan yang sudah membusuk. Kapal pertama Belanda mendarat di Banten
tahun 1596, tetapi tidak mendapat rempah-rempah seperti yang diharapkan.
Pelayaran selanjutnya ke Maluku (kapal “De Houtman” dan “Van Beuningen”)
mengalami kegagalan juga, karena terjadi bentrokan fisik antara awak kapal
dengan penduduk setempat sehingga banyak pelautnya yang mati. Pada tahun 1597
tiga dari empat kapal kembali ke Belanda dan dari 249 awak kapal hanya tinggal
90 orang yang masih hidup. Ekspedisi kedua dilakukan pada tahun 1598
dengan 8 buah kapal dibawah komando kapten kapal van Neck dan van Warwijk yang
berhasil membawa rempah-rempah dalam jumlah besar dari kepulauan Maluku
terutama dari Banda, Ambon dan Ternate.
VOC merupakan perusahaan multinasional yang
pertama di dunia yang tersebar di banyak negara, dan dalam melaksanakan kegiatan
perdagangannya tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan yang tidak beradab,
termasuk pembunuhan terhadap penduduk dan memperlakukan penduduk asli sebagai
budak tanpa rasa perikemanusiaan khususnya di Indonesia.
Persaingan antara Belanda dan Portugis dalam
perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku berakhir ketika Belanda berhasil
membangun permukiman tetap dengan mengusir Portugal pada tgl 23 Februari 1605.
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa Belanda berhasil menggantikan posisi
Portugal mendapatkan sumber hasil bumi dari kepulauan Nusantara. Selama dua abad
menguasai bumi Indonesia, VOC telah bertindak dan memerintah dengan menggunakan
kekuasaan militer menekan dan mengadu-domba kerajaan-kerajaan setempat,
memberlakukan hukumnya sendiri di seluruh Indonesia, memiliki pengadilan sendiri
dan melakukan perdagangan monopoli yang sangat merugikan rakyat.
Bagi Belanda VOC merupakan kenyataan sejarah
yang membanggakan karena memberi nilai tambah yang tidak kecil kepada rakyat
Belanda, dan karena alasan itu Kementerian Pendidikan Belanda memprakarsai
peringatan dan perayaan 400 tahun VOC secara nasional yang pelaksanaannya
dilakukan oleh swasta di seluruh negeri. VOC juga dianggap telah membawa
kemakmuran serta kekayaan kultur bagi negara Belanda, bahkan dianggap membawa
cakrawala baru karena berhasil “menguasai” kawasan-kawasan dunia baru. VOC
dinilai berhasil mendorong berbagai perkembangan kemasyarakatan, dan dengan
mengarungi lautan telah memperkaya bangsa Belanda belajar tentang bangsa-bangsa
lain. Untuk itu generasi muda Belanda harus mengetahui tentang apa arti dan
bagaimana perwujudan VOC sebagai bagian dari karya nyata dan kejayaan bangsa
Belanda di masa lalu. Peringatan dan perayaan 400 tahun VOC akan dilakukan di 6
kota dan dipusatkan di Ridderzaal melalui pameran dan penyediaan informasi
tentang VOC sepanjang tahun 2002. Pihak Belanda telah melakukan pendekatan
kepada pemerintah Afrika Selatan, Sri Lanka dan India agar ikut serta mengambil
bagian memperingat dan merayakan 400 tahun VOC. Karena dianggap akan mengandung
kepekaan politik, panita VOC tidak mengajak Indonesia, walaupun Belanda
menyadari bahwa sebagian besar kegiatan dan keuntungan yang diraup VOC justru
berasal dari Indonesia.
Pandangan terhadap peran VOC di Indonesia
Dr Gerrit Knaap dari KITLV (Belanda), dalam tulisannya berjudul “Dutch
Perception of Indonesian History, Anno 2001” dalam sarasehan mengenai sejarah
hubungan Indonesia-Belanda di KBRI Den Haag pada bulan Agustus 2001, a.l.
mengatakan “Personally, I fully agree to the fact that the VOC in Indonesia
was nothing more and nothing less than a colonial state. This was already
imminent in the charter by which the VOC was founded in 1602, where it was
stipulated by the government that this company not only should be the exclusive
Dutch Organization to trade in the area between Cape of Good Hope and Cape
Hoorn, but that also possessed the right to wage war, make peace and built
fortress in that area. War, peace and fortress are attributes of a state, not of
a trader.” Selanjutnya Dr Knaap menambahkan dalam tulisan yang sama bahwa …
“the VOC as such is an organization with two faces, that of the merchant and
that of the statesman”. Bahkan dia mengkhawatirkan tentang adanya sikap
orang-orang di Belanda bahwa seolah-olah VOC hanya melaksanakan perdagangan saja
di Indonesia, karena berarti orang-orang tersebut samasekali tidak tahu tentang
sejarah yang sebenarnya.
Dr Anhar Gonggong sejarawan Indonesia, dalam
kesempatan yang sama, a.l. mengatakan bahwa VOC merupakan simbol dari kehendak
Belanda untuk mendapatkan keuntungan ekonomi-perdagangan sekaligus perluasan
wilayah kolonialnya. Dr Anhar Gonggong menyitir pendapat Dr Verkuyl yang
mengatakan : “Selama pemerintahan VOC, yang merupakan suatu kongsi dagang
monopolistis yang dipersenjatai, yang memiliki kedaulatan atas wilayah-wilayah
tertentu yang diperolehnya dengan merampas”.Apa yang dilakukan VOC di
Indonesia, menurut Dr Anhar Gonggong merupakan tindakan awal dari
kekuatan-kekuatan imperialis-kolonialistik. Dengan perkataan lain merupakan
proses awal penancapan kekuasaan kolonialistik yang didorong oleh motif
ekonomi-merkantil. Motif ini hanya bisa berhasil kalau didukung oleh pemerintah
Belanda dengan memberi bantuan militer.
Sementara ilmuwan Belanda maupun Indonesia
cukup banyak yang memiliki kesimpulan sama tentang peran VOC di Indonesia pada
abad ke 16 dan 17 yaitu tidak terlepas dari politik kolonialisme Belanda, namun
di pihak lain sampai sekarang masih cukup banyak pihak-pihak di Belanda yang
beranggapan bahwa kolonialisme Belanda di Indonesia memiliki misi khusus,
yang mereka sebutkan sebagai “misi suci” a.l. untuk :
1.
men-civilized-kan orang-orang Indonesia yang masih primitif;
2. memberi kemakmuran kepada orang-orang Indonesia
yang masih terbelakang,
3. mempersatukan orang-orang Indonesia yang selalu
berkelahi antar mereka,
4. memberi pendidikan dan kemajuan rakyat
Indonesia, dan
5. kedatangan VOC ke Indonesia semata-mata untuk
berdagang saja.
Sikap pandang bangsa Indonesia terhadap
peringatan 400 tahun VOC
Masalah peringatan maupun perayaan 400 tahun VOC merupakan urusan orang Belanda
sendiri dan merupakan haknya untuk memperingatinya dan tidak ada hubungannya
dengan kepentingan langsung bangsa Indonesia. Belanda sendiri yang mengakui
bahwa peringatan itu mengandung kepekaan politik bagi Indonesia, yang sebenarnya
secara eksplisit sebagai suatu pengakuan bahwa kehadiran VOC di Indonesia tidak
disukai rakyat Indonesia. Pihak Belanda tidak pernah melakukan pendekatan formal
kepada Indonesia untuk ikut memperingati atau merayakan 400 tahun VOC, walaupun
berdasarkan informasi ada pihak-pihak swasta di Indonesia yang “bersedia”
melakukannya demi aliran bantuan yang diberikan oleh pihak Belanda.
Bangsa Indonesia hendaknya melihat VOC
sebagai bagian dari kolonialisme Belanda di Indonesia, dan Undang Undang Dasar
Republik Indonesia secara tegas menentang kolonialisme dalam bentuk apapun.
Persoalan yang kita hadapi adalah tentang kewajaran dan kepantasan bagi bangsa
Indonesia untuk ikut meramaikan peringatan atau perayaan 400 tahun VOC di bumi
Indonesia sendiri, sementara kita tahu dan sadar bahwa kehadiran VOC di
Indonesia telah memakan banyak korban harta dan jiwa rakyat Indonesia serta
merupakan bagian dari kekuasaan kolonialistik.
Salah satu keberhasilan dan kesuksesan VOC
menguasai seluruh wilayah Indonesia adalah melalui kemampuannya memanfaatkan
sikap bangsa kita yang mudah diadu-domba karena keragaman etnis, dan juga
menggunakan penguasa bangsa Indonesia sendiri untuk menekan rakyatnya. Apakah
bangsa kita sekarang ini masih mau dan bersedia untuk terus dijadikan
ajang adu-domba demi membela kepentingan asing, tentunya bangsa kita sendiri
yang dapat menjawabnya. Perbedaan intern yang menimbulkan pertentangan bahkan
konflik antar kita merupakan kelemahan yang harus kita akui, dan untuk
menanggulanginya hanya dapat oleh kemauan kita sendiri.
Dengan dalih mengapa kita harus menghilangkan
kesempatan menikmati bantuan, masih ada orang-orang di Indonesia yang
berpendapat bahwa menolak untuk ikut memperingati 400 tahun VOC sebagai tingkah
“pahlawan kesiangan” karena persoalan VOC sudah merupakan persoalan masa
lalu. Masa lalu memang tidak perlu diungkit kembali apalagi kalau diikuti dengan
pembalasan dendam, tetapi penglihatan terhadap masa lalu hendaknya juga tidak
menghilangkan perasaan pengorbanan dan penderitaan rakyat terhadap kekuasaan
asing yang lalim, seperti perasaan bangsa Belanda terhadap penjajahan Jerman.
Keinginan dan maksud Belanda untuk membangun
kembali monumen kehadirannya di Indonesia pada masa-masa lalu tentunya perlu
kita sambut, tetapi hendaknya pembangunan tidak dikaitkan dengan peringatan 400
tahun VOC. Keinginan membangun monumen Belanda itupun perwujudannya harus pula
berimbang, karena bukan hanya kemegahan gedung secara fisik saja yang harus
diperhatikan tetapi juga tempat-tempat dimana pihak Belanda pernah menyiksa
bangsa Indonesia perlu dipertontonkan. Hal ini perlu diketahui oleh generasi
muda di Indonesia dan Belanda, sebagai suatu pelajaran agar segala macam
penindasan tidak terulang lagi.
Keadaan sudah berubah dan hubungan Indonesia
dengan Belanda sudah semakin baik dan bangsa Belanda sudah menjadi sahabat
bangsa Indonesia, apalagi masyarakat Belanda telah membantu ketika Indonesia
sedang dalam keadaan sulit. Namun tentunya kita tidak perlu meninggalkan prinsip
kita sendiri terhadap kolonialisme. Persahabatan adalah persahabatan, sedangkan
prinsip adalah tetap prinsip. Kehadiran Belanda di bumi Indonesia adalah suatu
kenyataan sejarah, dan sejarah hubungan kedua bangsa dapat dilihat dari dua
dimensi, yaitu yang buruk dan yang baik bagi keduabelah pihak.. Yang buruk harus
dijadikan peringatan untuk tidak diulang lagi, sementara yang baik kalau perlu
dapat kita sempurnakan. Generasi baru di Indonesia dan Belanda perlu mengerti
perjalanan sejarah hubungan kedua bangsa sebagai monumen yang memiliki dua
dimensi tersebut, untuk dapat dijadikan pelajaran positif agar tidak terulang
kembali peristiwa yang pernah menyakitkan salah satu pihak
*Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar